Monday, November 3, 2008

Musibah Menjadi Ibadah

Oleh: Jajang Aisyul Muzakki



Pada hari sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 wib, masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah dikagetkan dengan gempa bumi tektonik. Sekian ribu jiwa melayang pergi menemui sang pencipta. Peristiwa yang menghancurkan rumah-rumah dan gedung-gedung tersebut dalam bahasa agama dinamakan musibah. Musibah yang merenggut banyak jiwa manusia ini terjadi di luar dugaan manusia, karena saat itu semua mata tertuju pada gunung merapi yang diperkirakan akan meletus. Tetapi Allah yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa membalikkan prediksi semua orang. Musibah yang terjadi ternyata bukan dari atas (gunung merapi) tetapi dari bawah (gempa bumi). Ini membuktikan betapa Maha Kuasa Allah Pencipta alam semesta. Fa'aalullimaa yuriid Dia maha berbuat apa saja yang dia kehendaki. Musibah yang akan Allah timpakan kepada manusia tidak diketahui oleh siapa pun, sehingga dalam keadaan dan kondisi apapun, pagi, siang dan malam, kita jangan merasa aman dari kedatangan musibah maupun siksaan dari Allah swt. Bukankah gempa bumi Yogyakarta terjadi pada saat sebagian orang masih ada yang tidur ?. Bukankah sunami di Aceh terjadi ketika sebagian orang sedang bermain ?. Sungguh tepat firman Allah swt : “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain ?. Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga?. Tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi “. (QS. al-A'raf : 97-99).
Musibah apapun yang menimpa manusia, baik kerusakan di daratan maupun di lautan disebabkan akibat perbuatan tangan manusia itu sendiri (QS. Ar-Ruum: 41). Misalnya musibah banjir dan longsor terjadi akibat penebangan hutan liar oleh sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab. Gempa bumi dan bencana lainnya mungkin juga terjadi karena tangan-tangan maksiat sekelompok manusia. Sehingga bisa dikatakan bahwa musibah yang Allah timpakkan disebabkan oleh perbuatan dosa yang dilakukan manusia. Karena Allah swt tidak akan menghancurkan sebuah negeri selama di negeri tersebut masih ada orang-orang yang sholeh, orang-orang yang berbuat kebaikan, orang-orang yang selalu bertaubat dan meminta ampunan Allah swt. Firman Allah swt: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS, al-Anfal :33). ” Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan (orang-orang sholeh) (QS. Hud:117).
Setiap muslim pasti akan mendapatkan musibah dari Allah swt. Sebagai bentuk ujian bagi seorang hamba, Allah swt pasti akan mengujinya dengan berbagai macam bentuk musibah yang ringan atau berat. Allah swt berfirman: ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS, al-Baqarah: 155)
Setiap muslim harus menyadari bahwa semuanya terjadi atas kehendak Allah swt. Musibah yang ringan maupun yang berat pada hakekatnya akan mengandung banyak hikmah. Sehingga dalam kamus muslim tidak ada istilah putus asa dalam hidup ini. Salah satu sikap muslim yang baik adalah sikap untuk menjadikan musibah sebagai ibadah. Ketika dia ditimpa musibah, dia akan menjadikan momentum musibah sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah kepada Allah swt, taqorrub kepada-Nya dan muhasabah (introspeksi diri) amal perbuatannya. Sebab sangat mungkin musibah yang dialaminya karena kelalaian dan dosa yang dilakukannya. Lalu Allah menegurnya melalui musibah yang ditimpakan kepadanya sehingga dia kembali kepada jalan Allah swt.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika di pagi hari Rasulullah saw tidak mendapatkan makanan yang biasanya sudah disajikan oleh Aisyah, Rasulullah saw berkata kepada Aisyah : Kalau begitu (Jika tidak ada makanan), maka aku berpuasa saja. Sungguh sikap yang sangat sholeh, Beliau menjadikan musibah ekonomi sebagai lahan untuk beribadah dan taqorrub kepapa Allah swt melalui puasa sunnah.
Cara lain untuk menjadikan musibah sebagai ibadah adalah dengan menyadari bahwa di dalam musibah minimal terdapat lima nikmat dari Allah swt yang wajib disyukuri. Pertama, bersyukur bahwa musibah yang menimpa tidak terjadi pada agama Allah (Islam). Sebanyak apapun kerugian materi yang dirasakan dan sebanyak apapun jiwa yang melayang, tetapi Islam tetap ada, berdiri kokoh dan masih banyak orang-orang yang komitmen dengan Islam. Kedua, bersyukur bahwa musibah yang menimpa tidak lebih besar dan tidak lebih parah daripada musibah yang sudah pernah terjadi. Gempa bumi tektonik Yogyakarta yang memakan ribuan korban jiwa, ternyata tidak lebih besar dari pada bencana sunami yang memakan ratusan ribu korban jiwa di Aceh. Ketiga, bersyukur dan yakin bahwa Allah akan memberikan pahala yang besar dari setiap musibah yang ditimpakkan kepada hamba-hambanya yang bersabar. Allah swt berfirman: ”Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab”. (QS, Az-Zumar: 10). Keempat, bersyukur bahwa musibah dapat menghapuskan dosa. Rasulullah saw bersabda : ”Rasa takut, kecemasan, penyakit atau bahkan sebuah duri yang menusuk seseorang yang beriman, maka Allah akan menganugerahkan ampunan atas sebagian dosa-dosanya (atas apa yang menimpanya). Kelima, bersyukur bahwa ketika musibah menimpa seorang hamba Allah, berarti Allah mencintainya. Rasulullah saw bersabda : ”Sesungguhnya jika Allah mencintai seseorang Dia akan menjadikannya mampu melewati ujian. Siapa pun yang ridho dia akan mendapatkan kepuasan dan siapapun yang marah dia akan mendapatkan kemurkaan”.
Bagi orang-orang sekitar yang tidak terkena musibah, peluang menjadikan musibah sebagai ibadah sungguh sangat berharga. Dengan segala kemampuan yang dimiliknya (tenaga, pikiran, uang, makanan, minuman dan lain-lain) dia berikan semuanya untuk membantu saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Dia bershodaqoh kepada mereka sebagai bentuk ibadah sosial yang pahalanya sangat besar di sisi Allah swt. Allah swt berfirman: ”Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS, al-Baqarah: 26).
Bagi orang yang tidak menjadi korban bencana atau musibah, dapat menjadikan momentum musibah orang lain sebagai ibadah dengan cara mengunjungi orang yang ditimpa musibah tersebut. Dengan ta’ziyah atau kunjungannya, dia akan mendapatkan kedamaian dan kenyataan bahwa dirinya dalam kodisi lebih baik dari orang-orang tersebut. Seorang penyair berkata : ”Jika tidak karena banyaknya orang-orang berduka disekelilingku yang meratapi saudara-saudaranya, tentu aku tidak akan bertahan menghadapi hidupku sendiri”. Dia harus melihat orang-orang disekelilingnya. Sehingga dapat dibuktikan bahwa tidak ada sesuatu pun, kecuali ada kesulitan dan musibah yang telah menimpanya. Dia harus bisa merasakan bahwa dibandingkan dengan orang lain cobaan pada dirinya ringan-ringan saja. Dia harus merasa puas bahwa ujian atau musibah yang menimpa dirinya bukan dalam masalah agama tetapi dalam urusan duniawi. Dia harus yakin bahwa tidak ada cara ataupun rekayasa yang bisa digunakan untuk mengembalikan apa yang telah terjadi. Seorang penyair berkata: ”Jangan gunakan tipu daya untuk merubah suatu kondisi, karena satu-satunya cara adalah dengan meninggalkan semua tipu daya”. Ternyata, pilihan yang baik dan tidak baik bagi kita ada di tangan Allah. Allah swt berfirman : ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS, al-Baqarah: 116). Boleh jadi masyarakat Yogyakarta secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum membenci gempa bumi tektonik yang menewaskan ribuan jiwa, padahal ternyata itu amat baik bagi masyarakat Yogyakarta khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya. Manusia memang sangat terbatas dengan ilmu dan kemampuannya. Hanya Allah lah yang Maha Tahu atas semua hikmah dari setiap musibah yang ditimpakan kepada hamba-hamba-Nya. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur atas semua nikmat yang diberikan kepada kita dan Allah menjadikan kita hamba-hamba yang bersabar yang selalu mengatakan ”Sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepadaNya”, Amin. Wallahu a’lam.

No comments: