Monday, November 3, 2008


Keutamaan membaca Al-Qur'an

abnaj al-mauky
1. Membaca Al-Qur’an

Al- Qur’an adalah Kitab Suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam menjadi petunjuk kehidupan umat manusia diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w., sebagai salah satu rahmat yang tak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk. Al- Qur’an adalah Kitab Suci yang terakhir diturunkan Allah, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syari’at yang terdapat dalam Kitab-Kitab Suci yang diturunkan sebelumnya. Karena itu, setiap orang yang mempercayai Al-Qur’an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasi dan dikecap oleh penghuni alam semesta.

Setiap Mu’min yakin, bahwa membaca Al-Qur’an saja, sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda, sebab yang dibacanya itu adalah Kitab Suci. Al-Qur’an adalah sebaik-baik bacaan bagi orang Mu’min, baik di kala senang maupun di kala susah, di kala gembira atau pun di kala sedih. Malahan membaca Al-Qur’an itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.
Pada suatu ketika datanglah seseorang kepada sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas’ud r.a. meminta nasehat, katanya: “Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram, jiwaku gelisah dan fikiranku kusut, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak.”
Maka Ibnu Mas’ud menasehatinya, katanya: “Kalau penyakit itu yang menimpamu maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat oramg membaca Al-Qur’an, engkau baca Al- Qur’an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya; atau engkau pergi ke Majlis Pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah, umpama di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah keterangan jiwa, ketentraman fikiran dan kemurnian hati. Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah agar diberi-Nya hati yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu bukan lagi hatimu,”
Setelah orang itu kembali kerumahnya, diamalkannyalah nasihat Ibnu Mas’ud r.a. itu. Dia pergi mengambil wudhu kemudian diambilnya Al-Qur’an terus dia baca dengan hati yang khusyu. Selesai membaca Al-Qur’an, berubahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang tenang dan tentram, fikirannya jernih, kegelisahannya hilang sama sekali.
Tentang keutamaan dan kelebihan membaca al-qur’an, Rasulullah menyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang maksudnya demikian: “Ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh orang dengki kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah Kitab Suci al-qur’an ini, dibacanya siang dan malam; dan orang yang dianugerahi Allah kekayaan harta, siang dan malam kekayaan itu digunakannya untuk segala sesuatu yang dirihai Allah.”
Didalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pula, Rasulullah menyatakan tentang kelebihan martabat dan keutamaan orang membaca al-qur’an, demikian maksudnya: “Perumpamaan orang Mu’min yang membaca al-qur’an, adalah seperti bunga utrujjah, baunya harum dan rasanya lezat; orang Mu’min yang tak suka membaca al-qur’an, adalah seperti buah korma, baunya tidak harum, tapi manis rasanya; orang munafiq yang membaca al-qur’an ibarat kekuntum bunga, berbau harum, tetapi pahit rasanya; dan orang munafiq yang tidak membaca al-qur’an, tak ubahnya seperti buah hanzalah, tidak berbau dan rasanya pahit sekali.”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah juga menerangkan bagaimana besarnya rahmat Allah terhadap orang-orang yang membaca al-qur’an di rumah-rumah ibadah (mesjid, surau, mushalla dan lain-lain). Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang masyur lagi shahih yang artinya sebagi berikut: “Kepada kaum yang suka berjemaah di rumah-rumah ibadat, membaca al-qur’an secara bergiliran dan mengajarkannya terhadap sesamanya, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketentraman, akan melimpah kepadanya rahmat dan mereka akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan selalu mengingat mereka” (diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah).
Dengan hadits diatas nyatalah, bahwa membaca al-qur’an, baik mengetahui artinya ataupun tidak, adalah termasuk ibadah, amal shaleh dan memberi rahmat serta mamfaat bagi yang melakukannya; memberi cahaya ke dalam hati yang membacanya sehingga terang benderang, juga memberi cahaya kepada keluarga rumah tangga tempat al-qur’an itu dibaca. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas r.a. Rasulullah bersabda: “Hendaklah kamu beri nur (cahaya) rumah tanggamu dengan shalat dan dengan membaca al-qur’an.”
Di dalam hadits yang lain lagi, Rasulullah menyatakan tentang memberi cahaya rumah tangga dengan membaca al-qur’an itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daru Quthni dari Anas r.a., Rasulullah memerintahkan: “Perbayaklah membaca al-qur’an di rumahmu, sesungguhnya di dalam rumah yang tak ada orang membaca al-qur’an, akan sedikit sekali dijumpai kebaikan di rumah itu, dan akan banyak sekali kejahatan, serta penghuninya selalu merasa sempit dan susah.”
Mengenai pahala membaca al-qur’an, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa, tiap-tiap orang yang membaca al-qur’an dalam sembahyang, akan mendapat palaha lima puluh kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya, membaca al-qur’an di luar sembahyang dengan berwudhu, pahalanya dua puluh lima kali kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang diucapkannya dan membaca al-qur’an di luar sembahyang dengan tidak berwudhu, pahalanya sepuluh kebajikan bagi tiap-tiap huruf yang di ucapkannya.


2. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an.

Di dalam ajaran agama Islam, bukan membaca al-qur’an saja yang menjadi ibadah dan amal yang mendapatkan pahala dan rahmat, tetapi mendengarkan bacaan al-qur’an pun bergitu pula. Sebagian ulama mengatakan, bahwa mendengarkan orang membaca al-qur’an pahalanya sama dengan orang yang membacanya.
Tentang pahala orang mendengarkan bacaan al-qur’an dengan jelas dalam surat (7) Al A’raaf ayat 204 disebut sebagai berikut:
واذقرئ القرءان فاستمعواله,وأنصتوالعلكم ترحمون

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al- Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan perhatikan
lah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Mendengarkan bacaan al-qur’an dengan baik, dapat menghibur perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah dan melunakkan hati yang keras, serta mendatangkan petunjuk. Itulah yang dimaksud dengan rahmat Allah, yang diberikan kepada orang yang mendengarkan bacaan al-qur’an dengan baik. Demikian besar mu’jizat al-qur’an sebagai wahyu Ilahi, yang tak bosan-bosan orang membaca dan mendengarkannya. Malahan semakin sering orang membaca dan mendengarkannya, semakin terpikat hatinya kepada al-qur’an; bila al-qur’an dibaca dengan lidah yang fasih, dengan suara yang baik dan merdu akan lebih memberi pengaruh kepada jiwa orang yang mendengarkannya dan bertambah imannya. Bagaimana keadaan orang Mu’min tatkala mendengarkan bacaan al-qur’an itu, digambarkan oleh firman Allah sebagai berikut:


Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu, hanyalah mereka yang apabila di
sebut (nama) Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada tuhanlah mereka
bertawakal.”
(surat (8) Al Anfaal ayat 2).
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam, Nabi Muhammad s.a.w. mendengar Abu Musa Al Asy’ari membaca al-quran sampai jauh malam. Sepulang beliau dirumah, beliau ditanya oleh istri beliau Aisyah r.a. apa sebabnya pulang sampai jauh malam, Rasulullah menjawab, bahwa beliau terpikat oleh kemerduan suara Abu Musa Al Asy’ari membaca al-qur’an, seperti merdunya Nabi Daud a.s.
Di dalam riwayat, banyak sekali diceritakan, betapa pengaruh bacaan al-qur’an pada masa Rasulullah terhadap hati orang-orang kafir yang setelah mendengarkan bacaan al-qur’an itu. Tidak sedikit hati yang pada mulanya keras dan marah kepada Muhammad s.a.w. serta pengikut-pengikutnya, berbalik menjadi lunak dan mau mengikuti ajaran Islam.
Rasulullah sendiri sangat gemar mendengarkan bacaan al-qur’an dari orang lain. Dalam sebuah hadits; yang diriwayatkan oleh bukhari disebutkan, bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud, menceritakan sebagai berikut: Rasulullah berkata kepadaku: “Hai Ibnu Mas’ud, bacakanlah al-qur’an untukku”. Lalu aku menjawab: “Apakah aku pula yang membacakan al-qur’an untukmu, ya Rasulullah, padahal al-qur’an itu diturunkan Tuhan kepadamu?”. Rasulullah menjawab: “Aku senang mendengarkan bacaan al-qur’an itu dari orang lain.”
Kemudian Ibnu Mas’ud membacakan beberapa ayat dari surat An Nisaa, maka tatkala bacaan Ibnu Mas’ud sampai kepada ayat 41 yang berbunyi:


Artinya : “ Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan se
orang saksi (rasul dan nabi) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu)”;
sedang ayat itu sangat mengharukan hat Rasulullah, lalu beliau berkata: “Cukuplah sekian saja , ya Ibnu Mas’ud melihat Rasulullah meneteskan air matanya serta menundukan kepalanya.

3. Membaca Al-Qur’an sampai khatam (tamat)

Bagi seorang Mu’min, membaca al- qur’an telah menjadi kecintaannya. Pada waktu membaca al- qur’an, ia sudah merasa seolah-olah jiwanya menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa; menerima amanat dan hikmat suci, memohon limpah karunia serta rahmat dan pertolongan-Nya. Membaca al- qur’an telah menjadi wiridnya yang tertentu, baik siang ataupun malam. Dibacanya halaman demi halaman, surat demi surat dan juz demi juz, akhirnya sampai khatam (tamat). Tidak ada suatu kebahagiaan di dalam hati seseorang Mu’min melainkan bila dia dapat membaca al- qur’an sampai khatam. Bila sudah khatam, itulah puncaknya dari segala kebahagiaan hatinya.
Di dalam kitab ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al Ghazali mencatat beberapa hadits dan riwayat mengenai pembacaan al- qur’an sampai khatam. Digambarkannya, bagaimana para sahabat, dengan keimanan dan keikhlasan hati, berlomba-lomba membaca al- qur’an sampai khatam, ada yang khatam dalam sehari semalam saja, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam dan seterusnya. Di dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah menyuruh Abdullah bin Umar, supaya mengkhatamkan al- qur’an sekali dalam seminggu. Begitulah para sahabat seperti Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubaiyy bin Ka’ab, telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan al- qur’an pada tiap-tiap hati jum’at.
Adapun mereka yang mengkhatam al- qur’an sekali dalam seminggu, al- qur’an itu dibagi tujuh, menurut pembagian yang sudah mereka atur. Utsman bin Affan r.a. pada malam jum’at, memulai membacanya dari surat al- Baqarah sampai surat Al- Maa’idah, malam Sabtu dari surat Al- An’aam sampai surat Hud, malam Ahad dari surat Yusuf sampai surat Maryam, malam Senin dari surat Thaha sampai surat طسم, malam Selasa dari surat Al Ankabuut sampai surat Shaad, malam Rabu dari surat Tanzil sampai surat Al Rahmaan, dan mengkhatamkannya pada malam Kamis, tapi Ibnu Mas’ud lain lagi membaginya, yaitu: hari yang pertama 3 surat, hari kedua 5 surat, hari ketiga 7 surat, hari keempat 9 surat, hari kelima 11 surat, hari keenam 13 surat dan hari ketujuh adalah surat yang selebihnya sampai tamat (khatam).
Di samping itu, ada juga di antara para sahabat yang membaca al- qur’an sampai khatam dalam sebulan, untuk memperdalam penyelidikannya mengenai maksud yang terkandung didalamnya.



4. Adab membaca Al- Qur’an

Al- qur’an sebagai Kitab Suci, wahyu Ilahi, mempunyai adab tersendiri bagi orang-orang yang membacanya. Adab itu sudah diatur dengan sangat baik, untuk penghormatan dan keagungan al- qur’an tiap-tiap orang harus berpedoman kepadanya dalam mengerjakannya.
Imam Al Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menguraikan dengan sejelas-jelasnya bagaimana hendaknya tata cara membaca al- qur’an. Imam Al Ghazali telah membagi adab membaca al- qur’an menjadi adab yang mengenai batin, dan adab yang mengenai lahir. Adab yang mengenal batin itu, diperinci lagi menjadi arti memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah, menghadirkan hati di kala membaca sampai ke tingkat memperluas, memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan demikian kandungan al- qur’an yang dibaca dengan perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya. Kesemuaya ini adalah adab yang berhubungan dengan batin, yaitu dengan hati dan jiwa. Sebagai contoh Imam Al Ghazali menjelaskan, bagaimana cara hati membesarkan kalimat Allah, yaitu bagi pembaca al- qur’an ketika dia memulainya, maka terlebih dahulu ia harus menghadirkan dalam hatinya, betapa kebesaran Allah yang mempunyai kalimat-kalimat itu. dia harus yakin dalam hatinya, bahwa yang dibacanya itu bukanlah kalam manusia, tapi adalah kalam Allah Azza wa jalla. Membesarkan kalam Allah itu, bukan saja dalam membacanya, tetapi juga dalam menjaga tulisan-tulisan al- qur’an itu sendiri. Sebagai mana yang diriwayatkan, Ikrimah bin Abi Jahl, sangat gusar hatinya bila melihat lembaran-lembaran yang bertuliskan al- qur’an berserak-serak seolah-olah tersia-sia, lalu ia memungutnya selembar demi selembar, sambil berkata: “Ini adalah kalam Tuhanku! Ini adalah kalam Tuhanku, membesarkan kalam Allah berarti membesarkan Allah.”
Adapun mengenai adab lahir dalam membaca al- qur’an, selain didapati di dalam kitab Ihya Ulumuddin, juga banyak terdapat di dalam kitab-kitab lainnya. Misalnya dalam kitab Al Itqn oleh Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, tentang adab membaca al- qur’an itu diperincinya sampai menjadi beberapa bagian.

Diantaranya adab membaca al- qur’an, yang terpenting ialah:

1. Disunatkan membaca al- qur’an sesudah berwudhu, dalam keadaan bersih, sebab yang dibaca adalah wahyu Allah. Kemudian mengambil al- qur’an hendaknya dengan tangan kanan; sebanyak memegangnya dengan kedua belah tangan.
2. Disunatkan membaca al- qur’an di tempat yang bersih, seperti; di rumah, di surau, di mushala dan di tempat-tempat lain yang dianggap bersih. Tapi yang paling utama ialah di mesjid.
3. Disunatkan membaca al- qur’an menghadap ke qiblat, membacanya dengan khusyu dan tenang; sebaiknya dengan berpakaian yang pantas.
4. ketika membaca al- qur’an mulut hendaknya bersih, tidak berisi makanan, sebaiknya sebelum membaca al- qur’an mulut dan gigi dibersihkan lebih dahulu.
5. sebelum membaca al- qur’an, disunatkan membaca ta’awwudz, yang berbunyi: a’udzubillahi minasy syaithanirrajim. Sesudah itu barulah dibaca Bismillahirrahmanir rahim, maksudnya, diminta lebih dahulu perlindungan Allah, supaya terjauh dari pengaruh tipu daya syaitan, sehingga hati dan fikiran tetap tenang di waktu membaca al- qur’an, terjauh dari gangguan atau godaan. Biasa juga sebelum atau sesudah membaca ta’awwudz itu, berdoa dengan maksud memohon kepada Allah supaya hatinya menjadi terang. Do’a itu, berbunyi seperti berikut:

اللهم افتح لناحكمتك وانشرعلينارحمتك من خزئن رحمتك ياأرحم الرحمين
Artinya: Ya Allah, bukankah kiranya kepada kami hikmat-Mu dan taburkanlah kepada
kami rahmat dari khazanah-Mu, ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.

6. Disunatkan membaca al- qur’an dengan tartil, yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang, sesuai dengan firman Allah dalam surat (37) Al Muzzammil ayat 4:

...... ورتل القرءان ترتيلا المزمل
Artinya: “……….. dan bacalah al- qur’an dengan tartil!”.

Membaca dengan tartil itu lebih banyak memberi bekas dan mempengaruhi jiwa, serta lebih mendatangkan ketenangan batin dan rasa hormat kepada al- qur’an.
Telah berkata Ibnu Abbas r.a.: “Aku lebih suka membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran dengan tartil, dari pada kubaca seluruh al- qur’an dengan cara terburu-buru dan cepat-cepat.”
7. Bagi orang yang sudah mengerti arti dan maksud ayat-ayat al- qur’an, disunatkan membacanya dengan penuh perhatian dan pemikiran tentang ayat-ayat yang dibacanya itu dan maksudnya. Cara pembacaan seperti inilah yang dikehendaki, yaitu lidahnya bergerak membaca, hatinya turut memperhatikan dan memikirkan arti dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibacanya, yaitu membaca al- qur’an serta mendalami isi al- qur’an itu. Firman Allah dalam surat (4) An Nisaa ayat 82 berbunyi sebagai berikut:

افلا يتدبرون القرءان.........
Artinya: “ Apakah mereka tidak memperhatikan (isi) Al Qur’an” …….”.

Bila membaca al- qur’an yang selalu disertai perhatian dan pemikiran arti dan maksudnya, maka dapat dilakukan ketentuan-ketentuan terhadap ayat-ayat yang dibacanya. Umpamanya: Bila bacaan sampai kepada do’a dan istighfar, lalu berdo’a dan minta ampun; bila sampai kepada ayat azab, lalu meminta perlindungan kepada Allah, bila sampai kepada ayat rahmat, lalu meminta dan memohon rahmat dan begitulah seterusnya. Caranya, boleh diucapkan dengan lisan atau cukup dalam hati saja. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dari Ibnu Abbas yang maksudnya sebagai berikut: “ Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. apabila membaca سبح اسم ربك الأ على
Beliau lalu membaca سبحان ربى الأ على diriwayatkan pula oleh
Abu Daud, dari Wi-il bin Hijr yang maksudnya sebagai berikut: “Aku dengar Rasulullah membaca surat Al Faatihah, maka Rasulullah sudah membaca ولا الضالين lalu membaca امين
Demikian juga disunatkan sujud, bila membaca ayat-ayat sajdah, dan sujud itu dinamakan sujud tilawah.
Ayat-ayat sajdah itu terdapat pada 15 tempat, yaitu:

1. dalam surat Al- A’raaf ayat 206.
2. dalam surat Ar-ra’d ayat 15.
3. dalam surat An- Nahl ayat 50.
4. dalam surat Al- Israa ayat 109.
5. dalam surat Maryam ayat 58.
6. dalam surat Al- Hajj ayat 18 dan ayat 77.
7. dalam surat Al- Furqan ayat 60.
8. dalam surat An- Naml ayat 26.
9. dalam surat As- Sajdah ayat 15.
10. dalam Surat Shaad ayat 24.
11. dalam surat Fushshilat ayat 38.
12. dalam surat An- Najm ayat 62.
13. dalam surat Al- Insyiqaq ayat 21.
14. dalam surat Al- Alaq ayat 19.

8. Dalam bacaan al- qur’an itu, hendaklah benar-benar diresakan arti dan maksudnya, lebih-lebih apabila sampai pada ayat-ayat yang menggambarkan nasib orang-orang yang berdosa, dan bagaimana hebatnya siksaan yang disediakan bagi mereka. Sehubungan dengan itu, menutut riwayat, para sahabat banyak yang mencucurkan air matanya di kala membaca dan mendengarkan ayat-ayat suci al- qur’an yang menggambarkan betapa nasib yang akan diderita oleh orang-orang yang berdosa.
9. Disunatkan membaca al- qur’an dengan suara yang bagus lagi merdu, sebab suara yang bagus dan merdu itu menambah keindahan uslubnya al- qur’an. Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
زينواالقران بأصواتكم
Artinya: “Hendaklah kamu sekalian hiasi al- qur’an dengan suaramu yang merdu

Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam Rasulullah s.a.w. menunggu-nunggu istrinya, Siti Aisyah r.a. yang kebetulan agak terlambat datangnya. Setelah ia datang, Rasulullah bertanya kepadanya: “Bagaimanakah keadaanmu?” Aisyah menjawab: “Aku terlambat datang, karena mendengarkan bacaan al- qur’an seseorang yang sangat bagus lagi merdu suaranya. Belum pernah aku mendengarkan suara sebagus itu.” Maka Rasulullah terus berdiri dan pergi mendengarkan bacaan al- qur’an yang dikatakan Aisyah itu. Rasulullah kembali dan mengatakan kepada Aisyah: “Orang itu adalah Salim, budak sahaya Abi Hazaifah. Puji-pujian bagi Allah yang telah menjadikan orang yang suaranya seperti Salim itu sebagai ummatku.”
Oleh sebab itu melagukan al- qur’an dengan suara yang bagus, adalah di sunatkan, asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dan tata cara membaca sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu qiraat dan tajwid, seperti menjaga madnya, harakatnya (barisnya) idghamnya dan lain-lainnya. Di dalam kitab Zawaidur raudhah, diterangkan bahwa melagukan al- qur’an dengan cara bermain-main serta melanggar ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas itu, haram hukumnya: orang yang membacanya dianggap fasiq, juga orang yang mendengarkanya turut berdosa.

10. Ketika membaca al- qur’an janganlah diputuskan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain. Hendaknya pembacaa diteruskan sampai kebatas yang telah ditentukan, barulah disudahi. Juga dilarang tertawa-tawa, bermain-main dan lain-lain yang semacam itu. Ketika sedang membaca al- qur’an. Sebab pekerjaan yang seperti itu tidak baik dilakukan sewaktu membaca Kitab Suci dan berarti tidak menghormati kesuciannya.

Itulah di antara adab tata cara yang terpenting yang harus dijaga dan diperhatikan sehingga dengan demikian kesucian al- qur’an dapat terpelihar dengan sebaik-baiknya.

5. Belajar Al Qur’an dan mengajarkannya.

Setiap Mu’min yang mempercayai al- qur’an, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap Kitab Sucinya. Di antara kewjiban dan tanggung jawab itu ialah mempelajarinya dan mengajarkannya. Belajar dan mengajarkan al- qur’an adalah kewajiban sici dan mulia. Rasulullah s.a.w. telah mengatakn : “Yang sebaik-sebiknya kamu ialah orang yang mempelajari ayat-ayat dalam Kitabullah lebih baik yang seperti itu dari pada mengerjakan sembahyang sunat seratus rakaat.” Dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah juga mengatakan: “ Siapa-siapa yang mempelajari Kitabullah, kemudian diamalkannya isi yang terkandung di dalamnya, Allah akan menunjukinya dari kesesatan dan akan dipeliharanya pada hari kiamat dari siksa yang berat.”
Belajar al- qur’an itu merupakan kewajiban yang utama bagi setiap mu’min begitu juga mengajarkannya. Belajar al- qur’an itu dapat di bagi kepada beberapa tingkatan, yaitu belajar membacanya sampai lancar dan baik, menuruti qaedah-qaedah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid; belajar arti dan maksudnya sampai mengerti akan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya; dan terakhir belajar menghafalnya di luar kepala, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat pada masa Rasulullah, demikian pula pada masa tabi’in dan sekarang diseluruh negeri Islam.

Musibah Menjadi Ibadah

Oleh: Jajang Aisyul Muzakki



Pada hari sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 wib, masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah dikagetkan dengan gempa bumi tektonik. Sekian ribu jiwa melayang pergi menemui sang pencipta. Peristiwa yang menghancurkan rumah-rumah dan gedung-gedung tersebut dalam bahasa agama dinamakan musibah. Musibah yang merenggut banyak jiwa manusia ini terjadi di luar dugaan manusia, karena saat itu semua mata tertuju pada gunung merapi yang diperkirakan akan meletus. Tetapi Allah yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa membalikkan prediksi semua orang. Musibah yang terjadi ternyata bukan dari atas (gunung merapi) tetapi dari bawah (gempa bumi). Ini membuktikan betapa Maha Kuasa Allah Pencipta alam semesta. Fa'aalullimaa yuriid Dia maha berbuat apa saja yang dia kehendaki. Musibah yang akan Allah timpakan kepada manusia tidak diketahui oleh siapa pun, sehingga dalam keadaan dan kondisi apapun, pagi, siang dan malam, kita jangan merasa aman dari kedatangan musibah maupun siksaan dari Allah swt. Bukankah gempa bumi Yogyakarta terjadi pada saat sebagian orang masih ada yang tidur ?. Bukankah sunami di Aceh terjadi ketika sebagian orang sedang bermain ?. Sungguh tepat firman Allah swt : “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain ?. Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga?. Tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi “. (QS. al-A'raf : 97-99).
Musibah apapun yang menimpa manusia, baik kerusakan di daratan maupun di lautan disebabkan akibat perbuatan tangan manusia itu sendiri (QS. Ar-Ruum: 41). Misalnya musibah banjir dan longsor terjadi akibat penebangan hutan liar oleh sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab. Gempa bumi dan bencana lainnya mungkin juga terjadi karena tangan-tangan maksiat sekelompok manusia. Sehingga bisa dikatakan bahwa musibah yang Allah timpakkan disebabkan oleh perbuatan dosa yang dilakukan manusia. Karena Allah swt tidak akan menghancurkan sebuah negeri selama di negeri tersebut masih ada orang-orang yang sholeh, orang-orang yang berbuat kebaikan, orang-orang yang selalu bertaubat dan meminta ampunan Allah swt. Firman Allah swt: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS, al-Anfal :33). ” Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan (orang-orang sholeh) (QS. Hud:117).
Setiap muslim pasti akan mendapatkan musibah dari Allah swt. Sebagai bentuk ujian bagi seorang hamba, Allah swt pasti akan mengujinya dengan berbagai macam bentuk musibah yang ringan atau berat. Allah swt berfirman: ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS, al-Baqarah: 155)
Setiap muslim harus menyadari bahwa semuanya terjadi atas kehendak Allah swt. Musibah yang ringan maupun yang berat pada hakekatnya akan mengandung banyak hikmah. Sehingga dalam kamus muslim tidak ada istilah putus asa dalam hidup ini. Salah satu sikap muslim yang baik adalah sikap untuk menjadikan musibah sebagai ibadah. Ketika dia ditimpa musibah, dia akan menjadikan momentum musibah sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah kepada Allah swt, taqorrub kepada-Nya dan muhasabah (introspeksi diri) amal perbuatannya. Sebab sangat mungkin musibah yang dialaminya karena kelalaian dan dosa yang dilakukannya. Lalu Allah menegurnya melalui musibah yang ditimpakan kepadanya sehingga dia kembali kepada jalan Allah swt.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika di pagi hari Rasulullah saw tidak mendapatkan makanan yang biasanya sudah disajikan oleh Aisyah, Rasulullah saw berkata kepada Aisyah : Kalau begitu (Jika tidak ada makanan), maka aku berpuasa saja. Sungguh sikap yang sangat sholeh, Beliau menjadikan musibah ekonomi sebagai lahan untuk beribadah dan taqorrub kepapa Allah swt melalui puasa sunnah.
Cara lain untuk menjadikan musibah sebagai ibadah adalah dengan menyadari bahwa di dalam musibah minimal terdapat lima nikmat dari Allah swt yang wajib disyukuri. Pertama, bersyukur bahwa musibah yang menimpa tidak terjadi pada agama Allah (Islam). Sebanyak apapun kerugian materi yang dirasakan dan sebanyak apapun jiwa yang melayang, tetapi Islam tetap ada, berdiri kokoh dan masih banyak orang-orang yang komitmen dengan Islam. Kedua, bersyukur bahwa musibah yang menimpa tidak lebih besar dan tidak lebih parah daripada musibah yang sudah pernah terjadi. Gempa bumi tektonik Yogyakarta yang memakan ribuan korban jiwa, ternyata tidak lebih besar dari pada bencana sunami yang memakan ratusan ribu korban jiwa di Aceh. Ketiga, bersyukur dan yakin bahwa Allah akan memberikan pahala yang besar dari setiap musibah yang ditimpakkan kepada hamba-hambanya yang bersabar. Allah swt berfirman: ”Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab”. (QS, Az-Zumar: 10). Keempat, bersyukur bahwa musibah dapat menghapuskan dosa. Rasulullah saw bersabda : ”Rasa takut, kecemasan, penyakit atau bahkan sebuah duri yang menusuk seseorang yang beriman, maka Allah akan menganugerahkan ampunan atas sebagian dosa-dosanya (atas apa yang menimpanya). Kelima, bersyukur bahwa ketika musibah menimpa seorang hamba Allah, berarti Allah mencintainya. Rasulullah saw bersabda : ”Sesungguhnya jika Allah mencintai seseorang Dia akan menjadikannya mampu melewati ujian. Siapa pun yang ridho dia akan mendapatkan kepuasan dan siapapun yang marah dia akan mendapatkan kemurkaan”.
Bagi orang-orang sekitar yang tidak terkena musibah, peluang menjadikan musibah sebagai ibadah sungguh sangat berharga. Dengan segala kemampuan yang dimiliknya (tenaga, pikiran, uang, makanan, minuman dan lain-lain) dia berikan semuanya untuk membantu saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Dia bershodaqoh kepada mereka sebagai bentuk ibadah sosial yang pahalanya sangat besar di sisi Allah swt. Allah swt berfirman: ”Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS, al-Baqarah: 26).
Bagi orang yang tidak menjadi korban bencana atau musibah, dapat menjadikan momentum musibah orang lain sebagai ibadah dengan cara mengunjungi orang yang ditimpa musibah tersebut. Dengan ta’ziyah atau kunjungannya, dia akan mendapatkan kedamaian dan kenyataan bahwa dirinya dalam kodisi lebih baik dari orang-orang tersebut. Seorang penyair berkata : ”Jika tidak karena banyaknya orang-orang berduka disekelilingku yang meratapi saudara-saudaranya, tentu aku tidak akan bertahan menghadapi hidupku sendiri”. Dia harus melihat orang-orang disekelilingnya. Sehingga dapat dibuktikan bahwa tidak ada sesuatu pun, kecuali ada kesulitan dan musibah yang telah menimpanya. Dia harus bisa merasakan bahwa dibandingkan dengan orang lain cobaan pada dirinya ringan-ringan saja. Dia harus merasa puas bahwa ujian atau musibah yang menimpa dirinya bukan dalam masalah agama tetapi dalam urusan duniawi. Dia harus yakin bahwa tidak ada cara ataupun rekayasa yang bisa digunakan untuk mengembalikan apa yang telah terjadi. Seorang penyair berkata: ”Jangan gunakan tipu daya untuk merubah suatu kondisi, karena satu-satunya cara adalah dengan meninggalkan semua tipu daya”. Ternyata, pilihan yang baik dan tidak baik bagi kita ada di tangan Allah. Allah swt berfirman : ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS, al-Baqarah: 116). Boleh jadi masyarakat Yogyakarta secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum membenci gempa bumi tektonik yang menewaskan ribuan jiwa, padahal ternyata itu amat baik bagi masyarakat Yogyakarta khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya. Manusia memang sangat terbatas dengan ilmu dan kemampuannya. Hanya Allah lah yang Maha Tahu atas semua hikmah dari setiap musibah yang ditimpakan kepada hamba-hamba-Nya. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur atas semua nikmat yang diberikan kepada kita dan Allah menjadikan kita hamba-hamba yang bersabar yang selalu mengatakan ”Sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepadaNya”, Amin. Wallahu a’lam.